Oleh: Aisya Humaida
Masih ditemani senja dan setengah gelas kopi. Menghabiskan sisa sore, menunggu malam tiba. Kini ia percaya. Ada alasan pada garis batas di setiap pergantian waktu. Batas sore dan malam, senja. Lalu fajar, untuk batas malam dan pagi. Baginya, ini seperti isyarat persiapan. Senja bersiap untuk beristirahat dan fajar untuk memulai bekerja.
Okana. Gadis berambut ikal dan berlesung pipit itu mengajarkan keindahan menatap senja. Membuatnya duduk berlama-lama menikmati. Pun akhirnya candu, sisa sore untuk selalu bersama senja. Pada senja dia belajar, memahami makna garis batas. Tak lupa, Okana mengajarkannya untuk selalu siaga saat fajar tiba. Akhirnya dia tersadar tak hanya senja dan fajar yang menjadi garis batas, masih banyak rentetan batas waktu yang dia tak tahu.
*****
“Lekas berangkat, nak. Akan ibu selesaikan sendiri.”
“Tidak, bu. Harus kuselesaikan suapan-suapan ini untuk ibu.”
“Ibu khawatir, kau akan terlambat tiba di sekolah.”
“Kakiku bisa melangkah dengan cepat, bu.”
Adrenalin. Kulit pucat dengan mata elang. Langkah kakinya cepat. Wajah datar tanpa senyuman. Siswa berseragam putih abu, berbadge merah dan akan tiba tepat tiga menit sebelum bel sekolah berbunyi. Tidak kurang juga tidak lebih.
Dunia dan kesenangannya pada laboratorium dan praktikum. Menjadi dokter ambisinya. Dia bosan, ibunya tak kunjung sembuh dan hanya bisa terkapar di atas kasur dengan selang-selang. Dia tak pernah percaya, tak ada obat selain pil-pil yang memperlambat usia. Baginya, itu hanya sekedar opini para dokter. Dokter tak pernah mau bersusah payah mencari dan menemukan.
“Nal, lepas sekolah nanti kita futsal dulu.”
“Nggak ada waktu, Gy. Aku harus cepat pulang.”
“Kenapa, Nal ? Akhir-akhir ini juga kau selalu pulang terburu-buru.”
“Nggak apa-apa, Gy. Aku harus segera di rumah. Itu saja.”
“Adrenalin yang selama ini aku kenal hilang. Tanpa futsal. Pulang terburu-buru. Tiba sekolah mepet waktu. Aneh kau, Nal.”
Dia hanya tersenyum tipis. Menepuk bahu Rigy dengan lembut. Tanpa melontarkan kata sepatahpun. Kemudian berlalu pergi dari tatapan heran yang mengikutinya.
*****
Masa itu, saat ayah dan ibunya masih bersama. Gemerlap hidup utuh miliknya. Dia tak pernah peduli hari esok yang harus disambut dan memaknai semua yang tergenggam adalah kekal miliknya. Hingga, ayahnya memilih pergi dari rumah setelah bertengkar hebat dengan ibunya. Tak ada lagi suasana harmonis yang bisa ditemui dalam rumahnya. Rentetan masalah datang menghampiri, ibunya mulai sakit-sakitan. Surat sekolah datang dengan ancaman sebab buruknya nilai di semester pertama. Adrenalin mulai kacau. Kenyataan memaksanya untuk bangkit dengan cepat. Hanya saja dia tak tahu pada titik mana harus memulai.
“Kakak suka senja?”
“Tidak.”
“Kakak sedang menunggu seseorang di sini?”
“Tidak juga.”
Taman kota di penghujung sore. Kekacauan mengatarkannya duduk di bangku taman. Memaksanya bercengkrama dengan gadis berambut ikal dan berlesung pipit. Menjadikannya pendengar di balik jutaan kalimat yang gadis itu lontarkan. Titik awal dia mengenal sosok Okana.
Dari percakapan panjang yang dilakukannya bersama Okana selama berhari-hari, membuatnya menemukan titik untuk memulai mengatasi kekacauan hidupnya. Perlahan dia bangkit, menyusun balok-balok yang terbengkalai. Dia mulai sekolah dengan rajin, mengejar segenap ketinggalannya selama ini. Tak lupa dia selalu siaga di samping ibunya yang semakin memburuk dari hari ke hari. Dia mulai melupakan kebiasaan hura-hura, perlahan hidupnya mulai teratur. Akhirnya, dia memutuskan menjadi mahasiswa kedokteran sebagai destinasi akhir masa putih abunya.
*****
Lepas sekolah tengah hari, baru saja menginjakkan kakinya di gang menuju rumah. Sebuah ambulans meleset keluar, kemudian telpon masuk yang memintanya untuk segera ke rumah sakit. Lagi, ibunya harus dilarikan ke rumah sakit.
Dia berjalan mondar mandir depan ruang rawat ibunya. Ada perasaan takut kematian yang mengampiri, ibunya tak kunjung siuman. Adrenalin sadar ibunya tak akan bertahan hidup lama, penyakit mengrogoti usianya. Namun andai dia boleh menawar, beri kesempatan sekali lagi untuk merawat ibunya lebih lama.
Rencana tuhan lebih baik, selang-selang yang menempeli tubuh ibunya mulai dilepas. Ambulans kembali menuju rumahnya dengan ritme yang sedikit pelan. Tidak ada muka panik dan takut yang menghiasi wajah orang-orang di sekeliling ibunya. Hanya paras pasrah dan kalimat-kalimat thayyibah yang tak henti diucap.
Tuhan memanggil ibunya untuk kembali pada pangkuan kekuasaan-Nya. Melepasnya dari jerit sakit penderitaan dunia. Akhirnya dia paham, hidup adalah garis batas antara kelahiran dan kematian. Kesemantaraan yang harus dimaknai. Bersifat fana dan tak pernah kekal. Kemudian, masih dengan luka kematian dia bangkit merajut hidup. Mengepakkan sayap menggatungkan cita-citanya. Baginya, hidup yang sementara ini jangan begitu saja dilewatkan, walau fana harus syarat makna. Pada garis batas dia belajar, belajar bersiap dan belajar memaknai kesementaraan.
Yogyakarta, 23 Juni 2014
23:29
Hei, i was back :)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar