Pages

Subscribe:

Rabu, 21 Mei 2014

Antara Korupsi, Penegak Hukum dan Krisis Kepemimpinan di Indonesia



Oleh : Tri Wijayanti Kusuma Dewi

            Dalam surat Al-Baqorah ayat 30 Allah SWT berfirman telah menciptakan khalifahnya di muka bumi, artinya setiap manusia adalah khalifah terutama bagi dirinya sendiri. Tentunya khalifah itu baru sebatas potensi dalam diri setiap individu yang perlu diolah lagi sehingga tercipta khalifah yang rahmatanlilalamin. Namun persoalan yang kerap di jumpai di Indonesia ialah korupsi di segala lapisan birokrasi Indonesia yang menyebabkan kriris kepemimpinan, dan mental penegak hukum yang tak pantas disebut penegak hukum. Dalam seminar nasional 11 Januari 2014 mengenai Praktik Korupsi dibalik Wajah Demokrasi Indonesia Bapak Mahfud MD mengatakan bahwa moral setiap manusia yang mempengaruhi setiap tindakan itu, apabila moralnya baik atau muatan spriritualnya baik seseorang itu akan bertindak baik pula. lain dengan pembicara lain yang mengatakan bahwa bukan moral penyebabnya, namun memang ketika sesorang terjun dalam politik lingkungan tersebut pasti akan mempengaruhinya cepat atau lambat.

Memang sulit melihat pemimpin yang ideal di era modern ini, pemimpin yang amanah jauh dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Semakin besar problematika bangsa, semakin berbeda tafsiran ideal antara satu individu dengan lainnya. Semakin tinggi jabatan logikanya semakin sejahtera, namun faktanya semakin tinggi jabatan semakin banyak yang tidak tercukupi. jauh dari rasa syukur, hingga terjun keranah korupsi. Apakah ketika seseorang menempuh jenjang pendidikan tinggi sudah dapat di idealkan sebagai pemimpin? tentu saja tidak, selain ilmu duniawi harus di seimbangkan pula dengan ilmu agamanya. Lalu apakah seseorang yang berjenggot, memakai peci, baju koko terlihat agamanya kuat sudah patut di idealkan sebagai pemimpin juga? Jawabannya tidak juga, ingat masalah korupsi dana Al-qur’an tempo lalu. Selain harus ada muatan ilmu duniawi, maupun agamawi seorang pemimpin harus memiliki keberanian, persistensi, dan konsistensi kejujuran dalam dirinya. Berani berkata tidak pada apa yang salah sekecil apapun itu, dan padai-pandailah untuk selalu bersyukur. Pekerjaan apapun akan mulya jika pekerjaan itu bernilai atau bermartabat, bukan ditikberatkan pada tinggi atau rendahnya jabatan, besar atau kecilnya gaji yang didapat.
Di Indonesia sudah tak asing lagi dengan kata-kata Korupsi, hampir-hampir yang terkenal dari Indonesia adalah korupsinya. Korupsi adalah parasit demokrasi, jadi kehancuran berdemokrasi suatu bangsa berawal dari membiarkannya kelangsungan system yang korup. ([1]Sujitno, Arie2014. Gerakan Pencegahan Korupsi : Gagasan kombinasi Strategi di Daerah. Yogyakarta : Seminar Nasional Praktik Korupsi dibalik Wajah Demokrasi Indonesia.) Berbagai kasus korupsi telah dilakukan oleh pejabat atau penyelenggara Negara, banyak pemangku kekuasaan politik yang dipidana karena melakukan korupsi yang sangat merugikan Negara. Walaupun korupsi di Indonesia secara yuridis sudah dimasukkan dalam kejahatan luar biasa, namun korupsi yang sistemik dan meluas tetap merisaukan masyarakat secara nasional.
Dampak kejahatan korupsi yang multi dimensi, antara lain menimbulkan kesenjangan ekonomi, yang kemudian akan melahirkan berbagai bentuk kejahatan dan kekerasan. Konsekuensi etisnya, negara harus membayar biaya sosial politik yang mahal. Pelaku korupsi politik dan kroninya akan berusaha membelokkan arah kebenaran kepada kesesatan dan mempengaruhi penegak hukum menjadi bias murni. Tindakan para koruptor menimbulkan iklim sosial predatory society atau masyarakat saling memangsa, karena tidak menghormati hukum dan kehilangan komitmen bersama untuk membangun masa depan yang lebih baik. (Alkostar, Artidjo. 2014. Seminar Nasional Korupsi Politik Sebagai Ironi Demokrasi. Yogyakarta : Seminar Nasional Praktik Korupsi dibalik Wajah Demokrasi Indonesia.)
Penanganan korupsi tidak cukup hanya dengan pendekatan hukum secara represif, harus pula dikombinasikan dengan gerakan sosial dan langkah politik bersih. Pendektan penanganan korupsi harus sistemik yaitu dengan penindakan dan pencegahan, pendekatan hukum dan pembenahan tata kelola kekuasaan, dan partisipasi sosial dan sikap kritis warga dalam control pada jalannya kekuasaan. Untuk menyelesaikan korupsi politik di Indonesia hukum pidana secara penal dan non-penal harus menjadi solusi autoritatif. Hakim memenuhi tuntutan masyarakat untuk menghasilkan putusan yang berkualifikasi The Golden Rule memberikan kemanfaatan yang sebanyak-banyaknya. Akan terjadi matinya keadilan apabila kemajuan ekonomi dan perlindungan politik (oligarki) dinikmati bagi segelintir orang saja.
Penanggulangan korupsi politik tidak dapat dilakukan setengah hati, karena akan menimbulkan budaya sinisme dan apatisme dalam memberantas korupsi. Penegak hukum tidak boleh permisif atau bahkan berkolaborasi dengan koruptor. Aparat yang terpengaruh oleh pelaku korupsi poltik berarti mengidap kolesterol moral dan kehilangan daya tahan independennya. Spirit penaggulangan korupsi para Hakim harus selalu di asah. Toleransi nol terhadap korupsi juga menuntut pertisitensi para penegak hukum, agar pengakkan hukum terhadap korupsi mencapat tujuan bersama yang dituangkan dalam dalil moral kelahiran UU Korupsi. Untuk meluruskan tindakan yang bersifat koruptif tersebut diperlukan adanya kontrol sosial, politik, dan hukum yang memadai secara kuantitas dan kualitas. Kontrol terhadap oligarki politik dan ekonomi, tidak hanya merupakan hak individu warga negara tetapi lebih merupakan kewajiban asasi kolektif dalam Negara demokrasi. (Alkostar, Artidjo. 2014. Seminar Nasional Korupsi Politik Sebagai Ironi Demokrasi. Yogyakarta : Seminar Nasional Praktik Korupsi dibalik Wajah Demokrasi Indonesia.)
Aparat penegak hukum secara tegas tidak boleh berkontribusi dengan para pelaku koruptor atau pelaku kejahatan yang lain, sehingga tidak ada suatu penjara istimewa bagi para koruptor. Tidak ada lagi penjara mewah bagi para koruptor yang didalam selnya sudah seperti hotel berbintang lima. Semestinya sel tahanan fasilitasnya disamaratakan, entah bagi para pemangku kekuasaan atau masyarakat biasa. Aparat penegak hukum sudah semsetinya pula duduki oleh orang-orang yang mengerti hukum sepenuhnya. Aparat kepolisian sudah seharusnya mengerti betul hukum dan tuntutan moralitas yang baik. Mereka sebagai contoh masyrakat, tapi seringkali didapati mereka hanya duduk bermain HP, mabuk-mabukan, menerima dana-dana yang tidak jelas dari mana sumbernya.
Tugas masyarakat adalah melakukan control agar kekuasaan tidak busuk, kalau kekuasaan sudah busuk, akan sangat sulit dan membutuhkan waktu lama menegarkan dan menyembuhkan kembali, karena obatnya tercemar dimana-mana, bertebaran di hati rakyat yang dirugikan secara ekonomi, dikecewakan secara politik dan dirampas hak asasinya. Pengadilan tidak boleh terpengaruh oleh retorika politik tersangka atau terdakwa atau terpidana korupsi dan pendukungnya. Memperluas wawasan pengetahuan, merupakan prasyarat aktualisai diri sebagai penegak hukum menghadapi tantangan perkembangan ilmu dan teknologi dalam era global. Setiap tindakan yang dilakukan akan kembali kepada moral individu, setiap tindakan akan akan konsekuensi dan pertanggungjawabannya.

0 komentar:

Posting Komentar