Oleh : Tri Wijayanti Kusuma Dewi
Dalam
surat Al-Baqorah ayat 30 Allah SWT berfirman telah menciptakan khalifahnya di
muka bumi, artinya setiap manusia adalah khalifah terutama bagi dirinya
sendiri. Tentunya khalifah itu baru sebatas potensi dalam diri setiap individu
yang perlu diolah lagi sehingga tercipta khalifah yang rahmatanlilalamin. Namun
persoalan yang kerap di jumpai di Indonesia ialah korupsi di segala lapisan
birokrasi Indonesia yang menyebabkan kriris kepemimpinan, dan mental penegak
hukum yang tak pantas disebut penegak hukum. Dalam seminar nasional 11 Januari
2014 mengenai Praktik Korupsi dibalik Wajah Demokrasi Indonesia Bapak Mahfud MD
mengatakan bahwa moral setiap manusia yang mempengaruhi setiap tindakan itu,
apabila moralnya baik atau muatan spriritualnya baik seseorang itu akan
bertindak baik pula. lain dengan pembicara lain yang mengatakan bahwa bukan
moral penyebabnya, namun memang ketika sesorang terjun dalam politik lingkungan
tersebut pasti akan mempengaruhinya cepat atau lambat.
Memang sulit
melihat pemimpin yang ideal di era modern ini, pemimpin yang amanah jauh dari
korupsi, kolusi dan nepotisme. Semakin besar problematika bangsa, semakin
berbeda tafsiran ideal antara satu individu dengan lainnya. Semakin tinggi
jabatan logikanya semakin sejahtera, namun faktanya semakin tinggi jabatan
semakin banyak yang tidak tercukupi. jauh dari rasa syukur, hingga terjun
keranah korupsi. Apakah ketika seseorang menempuh jenjang pendidikan tinggi
sudah dapat di idealkan sebagai pemimpin? tentu saja tidak, selain ilmu duniawi
harus di seimbangkan pula dengan ilmu agamanya. Lalu apakah seseorang yang
berjenggot, memakai peci, baju koko terlihat agamanya kuat sudah patut di
idealkan sebagai pemimpin juga? Jawabannya tidak juga, ingat masalah korupsi
dana Al-qur’an tempo lalu. Selain harus ada muatan ilmu duniawi, maupun agamawi
seorang pemimpin harus memiliki keberanian, persistensi, dan konsistensi
kejujuran dalam dirinya. Berani berkata tidak pada apa yang salah sekecil
apapun itu, dan padai-pandailah untuk selalu bersyukur. Pekerjaan apapun akan
mulya jika pekerjaan itu bernilai atau bermartabat, bukan ditikberatkan pada
tinggi atau rendahnya jabatan, besar atau kecilnya gaji yang didapat.
Di Indonesia
sudah tak asing lagi dengan kata-kata Korupsi, hampir-hampir yang terkenal dari
Indonesia adalah korupsinya. Korupsi adalah parasit demokrasi, jadi kehancuran
berdemokrasi suatu bangsa berawal dari membiarkannya kelangsungan system yang
korup. ([1]Sujitno, Arie2014. Gerakan Pencegahan Korupsi : Gagasan kombinasi Strategi di Daerah. Yogyakarta : Seminar Nasional Praktik
Korupsi dibalik Wajah Demokrasi Indonesia.) Berbagai kasus korupsi telah dilakukan oleh pejabat
atau penyelenggara Negara, banyak pemangku kekuasaan politik yang dipidana
karena melakukan korupsi yang sangat merugikan Negara. Walaupun korupsi di
Indonesia secara yuridis sudah dimasukkan dalam kejahatan luar biasa, namun
korupsi yang sistemik dan meluas tetap merisaukan masyarakat secara nasional.
Dampak
kejahatan korupsi yang multi dimensi, antara lain menimbulkan kesenjangan
ekonomi, yang kemudian akan melahirkan berbagai bentuk kejahatan dan kekerasan.
Konsekuensi etisnya, negara harus membayar biaya sosial politik yang mahal. Pelaku
korupsi politik dan kroninya akan berusaha membelokkan arah kebenaran kepada
kesesatan dan mempengaruhi penegak hukum menjadi bias murni. Tindakan para
koruptor menimbulkan iklim sosial predatory society atau masyarakat saling memangsa,
karena tidak menghormati hukum dan kehilangan komitmen bersama untuk membangun
masa depan yang lebih baik. (Alkostar, Artidjo. 2014. Seminar
Nasional Korupsi Politik Sebagai Ironi
Demokrasi. Yogyakarta : Seminar
Nasional Praktik Korupsi dibalik Wajah Demokrasi Indonesia.)
Penanganan
korupsi tidak cukup hanya dengan pendekatan hukum secara represif, harus pula
dikombinasikan dengan gerakan sosial dan langkah politik bersih. Pendektan
penanganan korupsi harus sistemik yaitu dengan penindakan dan pencegahan,
pendekatan hukum dan pembenahan tata kelola kekuasaan, dan partisipasi sosial
dan sikap kritis warga dalam control pada jalannya kekuasaan. Untuk menyelesaikan korupsi politik di Indonesia hukum pidana secara
penal dan non-penal harus menjadi solusi autoritatif. Hakim memenuhi tuntutan
masyarakat untuk menghasilkan putusan yang berkualifikasi The Golden Rule
memberikan kemanfaatan yang sebanyak-banyaknya. Akan terjadi matinya keadilan
apabila kemajuan ekonomi dan perlindungan politik (oligarki) dinikmati bagi
segelintir orang saja.
Penanggulangan
korupsi politik tidak dapat dilakukan setengah hati, karena akan menimbulkan
budaya sinisme dan apatisme dalam memberantas korupsi. Penegak hukum tidak
boleh permisif atau bahkan berkolaborasi dengan koruptor. Aparat yang
terpengaruh oleh pelaku korupsi poltik berarti mengidap kolesterol moral dan
kehilangan daya tahan independennya. Spirit penaggulangan korupsi para Hakim
harus selalu di asah. Toleransi nol terhadap korupsi juga menuntut pertisitensi
para penegak hukum, agar pengakkan hukum terhadap korupsi mencapat tujuan
bersama yang dituangkan dalam dalil moral kelahiran UU Korupsi. Untuk
meluruskan tindakan yang bersifat koruptif tersebut diperlukan adanya kontrol
sosial, politik, dan hukum yang memadai secara kuantitas dan kualitas. Kontrol
terhadap oligarki politik dan ekonomi, tidak hanya merupakan hak individu warga
negara tetapi lebih merupakan kewajiban asasi kolektif dalam Negara demokrasi. (Alkostar, Artidjo. 2014. Seminar Nasional Korupsi Politik Sebagai Ironi Demokrasi. Yogyakarta : Seminar Nasional Praktik
Korupsi dibalik Wajah Demokrasi Indonesia.)
Aparat
penegak hukum secara tegas tidak boleh berkontribusi dengan para pelaku
koruptor atau pelaku kejahatan yang lain, sehingga tidak ada suatu penjara
istimewa bagi para koruptor. Tidak ada lagi penjara mewah bagi para koruptor
yang didalam selnya sudah seperti hotel berbintang lima. Semestinya sel tahanan
fasilitasnya disamaratakan, entah bagi para pemangku kekuasaan atau masyarakat
biasa. Aparat penegak hukum sudah semsetinya pula duduki oleh orang-orang yang
mengerti hukum sepenuhnya. Aparat kepolisian sudah seharusnya mengerti betul
hukum dan tuntutan moralitas yang baik. Mereka sebagai contoh masyrakat, tapi
seringkali didapati mereka hanya duduk bermain HP, mabuk-mabukan, menerima
dana-dana yang tidak jelas dari mana sumbernya.
Tugas
masyarakat adalah melakukan control agar kekuasaan tidak busuk, kalau kekuasaan
sudah busuk, akan sangat sulit dan membutuhkan waktu lama menegarkan dan menyembuhkan
kembali, karena obatnya tercemar dimana-mana, bertebaran di hati rakyat yang
dirugikan secara ekonomi, dikecewakan secara politik dan dirampas hak asasinya.
Pengadilan tidak boleh terpengaruh oleh retorika politik tersangka atau
terdakwa atau terpidana korupsi dan pendukungnya. Memperluas wawasan
pengetahuan, merupakan prasyarat aktualisai diri sebagai penegak hukum
menghadapi tantangan perkembangan ilmu dan teknologi dalam era global. Setiap
tindakan yang dilakukan akan kembali kepada moral individu, setiap tindakan
akan akan konsekuensi dan pertanggungjawabannya.
0 komentar:
Posting Komentar