Oleh: Aisyah Humaida
Satu jam telah berlalu, hujan tak kunjung reda. Tubuhku menggigil kedinginan, terpaan air hujan membasahi baju yang kupakai. Atap pelataran toko, tempat kuberteduh tak mampu memberikan perlindungan yang cukup. Aku mulai lelah. Dimanakah aku bisa berlindung? Kemanakah aku harus berjalan? Aku hanya bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa tujuan. Tak sepeser uang-pun kugenggam, hanya buntalan kain berisi baju-baju sederhana yang kubawa. Perutku semakin membuncit, bayi yang kukandung semakin menua. Apa yang harus kulakukan, ketika bayi itu lahir. Apa yang harus kukatakan, ketika bayi yang kulahirkan menanyakan ayahnya. Ah...
Satu jam telah berlalu, hujan tak kunjung reda. Tubuhku menggigil kedinginan, terpaan air hujan membasahi baju yang kupakai. Atap pelataran toko, tempat kuberteduh tak mampu memberikan perlindungan yang cukup. Aku mulai lelah. Dimanakah aku bisa berlindung? Kemanakah aku harus berjalan? Aku hanya bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa tujuan. Tak sepeser uang-pun kugenggam, hanya buntalan kain berisi baju-baju sederhana yang kubawa. Perutku semakin membuncit, bayi yang kukandung semakin menua. Apa yang harus kulakukan, ketika bayi itu lahir. Apa yang harus kukatakan, ketika bayi yang kulahirkan menanyakan ayahnya. Ah...
*****
Tiga belas bulan yang
lalu, kau datang dengan kesahajaan dan memperkenalkan diri dengan
nama Muhammad Isa pada keluargaku di tanah Minahasa. Kau mampu
menarik hati papahku, membuat papah memberikan segalanya kepadamu,
termasuk aku. Pendekatan yang hebat untuk seorang pendatang yang
mampu meluluhkan hati seorang kepala suku yang begitu keras. Hingga
akhirnya, kau membawaku ke Jakarta, tempat asalmu. Saat itu, aku
tengah hamil dua bulan dari hasil pernikahan denganmu. Aku merasa
bahagia tiap kali kau menjanjikan banyak hal padaku.
Minahasa yang
terletak di pedalaman, jauh berbeda dengan Jakarta yang metropolitan.
Aku terbius sejenak. Seakan tak percaya, saat pertama kali
menginjakkan kaki di Jakarta, hati kecilku bertanya,” Dimana aku
berada?” Namun, semua itu hanya menyisakan bayangan belaka yang
menggores luka dengan sayatan yang tajam di hatiku.
Masih teringat jelas
dalam benakku...
Kala itu, bayi di
kandunganku berusia lima bulan dan pernikahan kita memasuki bulan ke
sembilan, datang seorang perempuan dengan baju daster yang menutupi
tubuhnya. Dia memaki-makiku dengan pedasnya dan menanyakan
keberadaanmu yang saat itu tengah tidur siang dengan pulas.
“Dasar pengganggu suami
orang! Dia itu suamiku”,ucapnya kasar.
Hatiku benar-benar sakit
mendengar perkataannya. Dia-pun memaksaku masuk, membangunkanmu. Aku
hanya bisa menangis ketika kau pergi dengan perempuan itu tanpa
membelaku sedikitpun. Aku-pun harus beranjak pergi, ketika sang
pemilik rumah menagih uang sewa. Aku tak memiliki uang sepeser-pun.
Aku mulai hidup terlunta-lunta dan tak pernah lagi mendengar berita
tentangmu. Kau benar-benar lenyap, seakan ditelan bumi.
Kini, aku hanya bisa
meratapi nasib. Kembali ke tanah Minahasa adalah setitik harapan yang
sangat kecil. “Ah....hidup
ini terlalu pahit”, diriku
membantin.
*****
Sejak tiga hari yang
lalu, aku menempati tempat ini, bangunan paling ujung dari kompleks
pertokoan. Tak jarang, aku melihat tatapan aneh dari orang-orang yang
berlalu lalang dan sesekali aku mendengar mereka meneriakiku orang
gila.
Genap sembilan bulan usia
bayi yang kukandung, inilah hal yang paling kukhawatirkan. Keadaanku
tak mendukung untuk melakukan proses persalinan. Ah....tiba-tiba
perutku terasa sakit, ada cairan bening yang keluar menyertainya. Apa
ini yang disebut melahirkan? Aku berteriak minta tolong dengan sisa
suaraku yang serak, namun tak seorang-pun yang menghiraukan.
“Papah....mamah....tolong
aku!”, diriku
mendesis. Perutku semakin terasa sakit, aku tak kuasa menanggung.
Hingga akhirnya, semua menjadi putih dan aku tak sadarkan diri.
Suara tangisan bayi yang
menjerit membangunkanku, namun aku masih terlalu lemah untuk
menggapainya. Letaknya terlalu jauh, tepat berada di ujung kaki.
Sedikit, demi sedikit kumencoba untuk menggapainya. Aku tak kuasa
menahan iba, mendengar tangis yang mengisyaratkan butuh pertolongan.
Aku angkat tubuhnya, lalu kudekap erat diantara dada dan kedua
tanganku. Ada luka baru di hatiku. Bayi ini, anak kita. Memiliki
kemiripan yang kontras denganmu, seakan mengajakku untuk mengingat
kembali pada luka yang berusaha kututupi. Mata elangnya, mata
elangmu. Hidung bangirnya, hidung bangirmu. Wajah ovalnya, wajah
ovalmu. Aku hanya bisa menatap sendu, aku tak ingin menurunkan
kebencian ini padanya. Aku menyayanginya. Aku mencintainya. Dia tak
pernah salah atas penderitaan ini.
Andai
bisa
kulumat.
Inginku menelan dan memasukkannya
kembali pada perutku. Aku tak rela melahirkannya dengan keadaan yang
sangat
tak
layak. Tak sedikitpun kebahagiaan yang bisa
kuberikan.
Andai
kau
bisa
kulumat,
anakku..
ISS,
14 April 2011
Saat kau dan aku masih
bercumbu dengan makhluk bernamakan pena.
Gak bosen bacanya :))
BalasHapus