Pages

Subscribe:

Rabu, 25 Juni 2014

BATAS

Oleh: Aisya Humaida

Masih ditemani senja dan setengah gelas kopi. Menghabiskan sisa sore, menunggu malam tiba. Kini ia percaya. Ada alasan pada garis batas di setiap pergantian waktu. Batas sore dan malam, senja. Lalu fajar, untuk batas malam dan pagi. Baginya, ini seperti isyarat persiapan. Senja bersiap untuk beristirahat dan fajar untuk memulai bekerja.
Okana. Gadis berambut ikal dan berlesung pipit itu mengajarkan keindahan menatap senja. Membuatnya duduk berlama-lama menikmati. Pun akhirnya candu, sisa sore untuk selalu bersama senja. Pada senja dia belajar, memahami makna garis batas. Tak lupa, Okana mengajarkannya untuk selalu siaga saat fajar tiba. Akhirnya dia tersadar tak hanya senja dan fajar yang menjadi garis batas, masih banyak rentetan batas waktu yang dia tak tahu.
*****

Minggu, 15 Juni 2014

Apakah Tetap Mawar?

Oleh : Paisal Salman Alparidji

Sore itu aku putuskan untuk berjalan-jalan ke taman kota, sekedar santai dan menyelingkuhi hirukpikuk kehidupan kota yang membosankan. Setelah merasa cukup melihat-lihat keadaan sekitar, aku memutuskan duduk di salah satu bangku di sudut taman. Sengaja aku pilih bagian sudut, bunga warna-warni nan segar berhasil menarik perhatianku. Di setiap sudut mahkotanya masih tampak basah, bekas hujan tadi pagi yang belum hilang. Batangnya bulat dan penuh dengan duri.

Jumat, 13 Juni 2014

Ketika Semua Orang Berkata “Aku Merdeka”







OLEH : S. AZZUHRA SINAGA a.k.a ANGGI SINAGA


Ketika semua orang berkata “aku merdeka”. Apa sebenarnya yang ada di benak mereka saat itu? merasa banggakah? Bergemberikah?
Ketika semua orang mengagung – agungkan kata merdeka, tahukah mereka apa makna dibaliknya? Tahukah mereka apa yang sebenarnya ada di dalam satu kata itu?
Merdeka. Mungkin satu kata ini langsung membuat kita berpikir tentang kata terbebas, kebebasan, membebaskan. Memang benar, itu arti kata merdeka. Namun, bagi mereka yang dengan sombongnya membanggakan kata- kata itu, apakah mereka tahu dengan benar? Atau jangan – jangan mereka adalah orang – orang yang meneriakkan kata – kata itu bukan karena mereka merdeka, namun karena itu adalah permohonan mereka, jeritan mereka.
Aku merasa bahwa kata merdeka itu adalah kata – kata yang begitu mencolok untuk didengar bagi bangsa ini ketika bangsa ini bahkan tidak bisa membebaskan dirinya dari setan di dalam dirinya. Setan yang selalu mengatakan bahwa kau harus begini, kau harus begitu. Seolah – olah kaki, tangan, mata hidung, telinga, hati di rantai dengan besi baja lunak, namun kita tidak tahu bahwa itu lunak. Miris memang. Tapi itulah kenyataannya menurutku.

Rabu, 04 Juni 2014

Andai Bisa Kulumat

Oleh: Aisyah Humaida

Satu jam telah berlalu, hujan tak kunjung reda. Tubuhku menggigil kedinginan, terpaan air hujan membasahi baju yang kupakai. Atap pelataran toko, tempat kuberteduh tak mampu memberikan perlindungan yang cukup. Aku mulai lelah. Dimanakah aku bisa berlindung? Kemanakah aku harus berjalan? Aku hanya bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa tujuan. Tak sepeser uang-pun kugenggam, hanya buntalan kain berisi baju-baju sederhana yang kubawa. Perutku semakin membuncit, bayi yang kukandung semakin menua. Apa yang harus kulakukan, ketika bayi itu lahir. Apa yang harus kukatakan, ketika bayi yang kulahirkan menanyakan ayahnya. Ah...
*****
Tiga belas bulan yang lalu, kau datang dengan kesahajaan dan memperkenalkan diri dengan nama Muhammad Isa pada keluargaku di tanah Minahasa. Kau mampu menarik hati papahku, membuat papah memberikan segalanya kepadamu, termasuk aku. Pendekatan yang hebat untuk seorang pendatang yang mampu meluluhkan hati seorang kepala suku yang begitu keras. Hingga akhirnya, kau membawaku ke Jakarta, tempat asalmu. Saat itu, aku tengah hamil dua bulan dari hasil pernikahan denganmu. Aku merasa bahagia tiap kali kau menjanjikan banyak hal padaku.