Pages

Subscribe:

Sabtu, 05 Juli 2014





Judul Buku           : Arok Dedes
Penulis                 : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit                : Lentera Dipantara
Cetakan                : Kedelapan, Juli 2009
Tebal Halaman     : 557 halaman


Oleh Muhammad A. Fahmi
Mungkin kau lupa. Jatuhkan Tunggul Ametung seakan tidak karena tanganmu. Tangan orang lain harus melakukannya. Dan orang itu harus dihukum di depan umum berdasarkan bukti tak terbantahkan. Kau mengambil jarak secukupnya dari peristiwa itu.” – Parmoedya Ananta Toer-

            Arok dan Dedes nama ini tidaklah asing dikalangan masyarakat Indonesia. Ya tentu, mereka adalah salah satu tokoh penting dalam kisah ‘Kutukan Keris Empu Gandring’. Cerita ini seringkali di tayangkan di layar kaca televisi ataupun di buku-buku cerita rakyat. Dan kerap disajikan dalam kisah 
pewayangan. Sudah barang tentu kisah ini begitu akrab bagi masyarakat Indonesia.

            Dari awal dipopulerkan, kisah Arok dan Dedes hanya memfokuskan pada ‘Kutukan Keris Empu Gandring’, di mana Arok membunuh Empu Gandring, lalu merampas keris yang telah dibuatnya, diujung mautnya, Empu Gandring menyatakan sumpah kutukan tujuh turunan kepada Arok. 

            Tidak hanya mitos, apabila di telaah, ada pesan moral yang dapat kita ambil dan jadikan pelajaran dari kisah Arok dan Dedes ini. Dan di tangan seorang penulis kenamaan, Pramoedya Ananta Toer dengan karya-karyanya yang telah mendunia, kisah ini diangkat dari sisi yang berbeda, yaitu kisah roman politik yang begitu jauh dari kesan mistika-irasional  atau ‘Kutukan Keris Empu Gandring’ yang kita kenal. 

            Pramoedya Ananta Toer atau lebih dikenal dengan panggilan Pram, lahir pada 1925 di Blora, Jawa Tengah. Karya-karya nya tidak lah lahir dari atas meja tulis dan kursi yang nyaman untuk duduk berjam-jam, melainkan lahir dari dalam penjara. Hampir separuh hidupnya dihabiskan dalam penjara ; 3 tahun dalam tahanan kolonial, 1 tahun di Orde Lama , dan 14 tahun di masa Orde Baru tanpa proses pengadilan. Pada tanggal 21 Desember 1979 Pram dibebaskan karena tidak terbukti terlibat dalam G30S PKI.

            Buku Roman Arok Dedes yang diselesaikan  dari 1 Oktober sampai dengan 24 Desember 1976 ini adalah bagian dari ‘Tetralogi Buru’, yang di mulai dari buku Arok Dedes, kemudian Mata Pusaran, dilanjutkan Arus Balik,dan diakhiri dengan lakon Mangir . yang lainnya adalah Tetralogi Bumi Manusia. 

            Untuk memperluas alur cerita, Pram memasukan beberapa tokoh sebagai sudut pandang dalam kisah Arok Dedes ini, diantaranya Arok, Dedes,Tunggul Ametung, dan Empu Gandring. Dalam buku ini, padat akan konflik. Serta kisah percintaan. 

             Buku  Arok Dedes berkisah tentang kudeta pertama di nusantara, di mana taktik politik begitu berperan penting dalam peraihan tertinggi dalam sebuah kekuasaan. Dalam buku ini, Arok tidak hanya berperan sebagai aktor tapi juga seorang dalang di balik layar. Ia mengadu domba satu dengan yang lain, memanas-manasi antar perkubuan dan muncul sebagai seorang pemenang. Arok selalu memunculkan diri sebagai seorang pahlawan, seolah-olah ia tidak terlibat dalam permainan politik sebenarnya.  

            Selama beratus tahun Kediri dan Tumapel berkuasa, selama itu pula rakyat dan desa di sekitar maupun di bawah kekuasaannya dalam keadaan menderita. Penarikan upeti yang besar oleh Kediri dan Tumapel terhadap rakyatnya. Perbudakan yang merajarela. Tindakan semena-mena oleh Tunggul Ametung, Akuwu Tumapel. Dan para pejabat tinggi yang hanya menjilat demi tahta, harta dan wanita. Membuat geram seluruh rakyat yang ditindasnya. Terlebih kaum Brahmana yang semula berada di kasta tertinggi oleh Sri baginda Erlangga raja Kediri di jatuhkan dan dikucilkan.

            Munculah Arok sebagai angin segar diantara kaum Brahmana dan harapan bagi rakyat Tumapel, yang dianggap mampu menaklukan Tunggul Ametung, serta Kediri dan meletakan kembali kedudukan kaum Brahmana. Dan keagungan dewa-dewa Hindu kaum Brahmana. Arok seorang anak berkasta sudra merangkak naik menjadi Brahmana dan berjiwa ksatria. Dengan ilmu serta keberaniannya menentang penguasa.

            Pucaknya adalah kaum Brahmana melakukan pergerakan yang di pimpin oleh Arok. Dengan jalan kudeta. Kudeta bermula dari diculiknya seorang putri Brahmana bernama Dedes. Dedes diculik oleh Tunggul Ametung  dan di peristri secara paksa tanpa sepengetahuan Mpu Parwa ayah Dedes. Kebencian kaum Brahmana pada para raja-raja Kediri dan Akuwu Tumapel telah berlangsung lama. Berawal dari raja Kediri, Sri Baginda Erlangga serta penerusnya tidak menghormati dewa-dewa Hindu serta merendahkan martabat kaum Brahmana. Mengakibatkan kebencian tersebut menggunung selama bertaus tahun.

            Dedes yang di peristri oleh Tunggul Ametung, diangkat menjadi Paramesywari Tumapel, pada awalnya ia tidak menerima dirinya di peristri oleh Ametung. Karena pergolakan hati serta perenungan yang lama, ia dapat menerima dirinya sebagai Paramesywari Tumapel, dan melihat peristiwa ini sebagai anugerah dari para dewa dan kesempatan untuk membalaskan dendamnya terhadap Tunggul Ametung yang telah merendahkan martabatnya sebagai Brahmana. Sama halnya dengan Arok, bedannya Dedes memainkan peran dari dalam pewukuan (istana) dan ikut berperan penting dalam permainan politik Arok.  
   
            Buku ini memberi padangan baru terhadap politik. Tidak hanya untuk meraih kekuasaan dan mempertahankannya, politik juga adalah jalan cepat untuk melawan penindasan dan ketidakadilan yang dilakukan penguasa, demi meraih suatu kebebasan.

            Jika kita kembali ke masa Orde Lama, di mana pemerintahan Soekarno di jatuhkan dengan taktik politik yang begitu luar biasa, menimbulkan kerusuhan,dan perselisihan antar kubu, hingga sampai pada titik dimana dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret (SUPERSEMAR) oleh Soekarno. Dan pucuk kekuasaan perpindah tangan, dari Soekarno ke Jendral Soeharto. 

            Taktik politik yang terdapat dalam buku kisah Arok Dedes mungkin berbeda dengan taktik politik yang terjadi di masa Orde Lama ke Orde baru. Tapi kecerdikan orang-orang yang berperan dalam peristiwa itu yang perlu kita kritisi. Seperti yang terkutip pada cover bagian belakang buku Arok Dedes “Arok adalah simpul dari gabungan antara mesin paramiliter licik dan politisi sipil yang cerdik-rakus”.

            Buku Arok Dedes adalah pendidikan moral, sejarah dan politik yang unik, melalui kisah terbesar di nusantara Arok  dan Dedes, kita diajak berpetualang kembali ke masa lampau, dan merasakan taktik politik paling purba di negri ini. 

            Penggambaran latar di buku Arok Dedes ini tidak detail, tapi dengan penulisan yang tidak bertele-tele penulis membiarkan pembaca untuk bermain dengan imajinasinya. Permainan alur yang begitu baik menjadikan buku ini tidak membosankan. Kemampuan penulis memancing emosi pembaca ke dalam buku, menambah kelebihan dari buku ini.

             Bahasa yang digunakan adalah bahasa baku, dan penulisan kata yang tidak biasa, berbeda dengan yang di temui pada umumnya , dikarenakan perbedaan masa antara penulis dan pembaca . Contohnya saya menjadi sahaya dan sebagainya.

            Kekurangan buku ini terdapat pada penggunaan kata dan penyusunan kalimat yang tidak biasa. Untuk orang yang baru mulai giat membaca akan sedikit sulit untuk memahaminya dan akan mengulang-ulang bacaan. 

            Buku Arok Dedes ini disarankan bagi para pembaca, untuk memahami sejarah nusantara yang begitu luar biasa dan banyak pesan moral yang dapat kita ambil dan jadikan pelajaran. Serta memahamkan para pembaca, bahwa politik adalah tempat berkumpulnya kepentingan dari masing-masing individu maupun kelompok. Dan pembaca dapat bersikap dalam kegiatan politik yang terus berubah setiap detiknya.

Selamat Berfantasi !

Rabu, 25 Juni 2014

BATAS

Oleh: Aisya Humaida

Masih ditemani senja dan setengah gelas kopi. Menghabiskan sisa sore, menunggu malam tiba. Kini ia percaya. Ada alasan pada garis batas di setiap pergantian waktu. Batas sore dan malam, senja. Lalu fajar, untuk batas malam dan pagi. Baginya, ini seperti isyarat persiapan. Senja bersiap untuk beristirahat dan fajar untuk memulai bekerja.
Okana. Gadis berambut ikal dan berlesung pipit itu mengajarkan keindahan menatap senja. Membuatnya duduk berlama-lama menikmati. Pun akhirnya candu, sisa sore untuk selalu bersama senja. Pada senja dia belajar, memahami makna garis batas. Tak lupa, Okana mengajarkannya untuk selalu siaga saat fajar tiba. Akhirnya dia tersadar tak hanya senja dan fajar yang menjadi garis batas, masih banyak rentetan batas waktu yang dia tak tahu.
*****

Minggu, 15 Juni 2014

Apakah Tetap Mawar?

Oleh : Paisal Salman Alparidji

Sore itu aku putuskan untuk berjalan-jalan ke taman kota, sekedar santai dan menyelingkuhi hirukpikuk kehidupan kota yang membosankan. Setelah merasa cukup melihat-lihat keadaan sekitar, aku memutuskan duduk di salah satu bangku di sudut taman. Sengaja aku pilih bagian sudut, bunga warna-warni nan segar berhasil menarik perhatianku. Di setiap sudut mahkotanya masih tampak basah, bekas hujan tadi pagi yang belum hilang. Batangnya bulat dan penuh dengan duri.

Jumat, 13 Juni 2014

Ketika Semua Orang Berkata “Aku Merdeka”







OLEH : S. AZZUHRA SINAGA a.k.a ANGGI SINAGA


Ketika semua orang berkata “aku merdeka”. Apa sebenarnya yang ada di benak mereka saat itu? merasa banggakah? Bergemberikah?
Ketika semua orang mengagung – agungkan kata merdeka, tahukah mereka apa makna dibaliknya? Tahukah mereka apa yang sebenarnya ada di dalam satu kata itu?
Merdeka. Mungkin satu kata ini langsung membuat kita berpikir tentang kata terbebas, kebebasan, membebaskan. Memang benar, itu arti kata merdeka. Namun, bagi mereka yang dengan sombongnya membanggakan kata- kata itu, apakah mereka tahu dengan benar? Atau jangan – jangan mereka adalah orang – orang yang meneriakkan kata – kata itu bukan karena mereka merdeka, namun karena itu adalah permohonan mereka, jeritan mereka.
Aku merasa bahwa kata merdeka itu adalah kata – kata yang begitu mencolok untuk didengar bagi bangsa ini ketika bangsa ini bahkan tidak bisa membebaskan dirinya dari setan di dalam dirinya. Setan yang selalu mengatakan bahwa kau harus begini, kau harus begitu. Seolah – olah kaki, tangan, mata hidung, telinga, hati di rantai dengan besi baja lunak, namun kita tidak tahu bahwa itu lunak. Miris memang. Tapi itulah kenyataannya menurutku.

Rabu, 04 Juni 2014

Andai Bisa Kulumat

Oleh: Aisyah Humaida

Satu jam telah berlalu, hujan tak kunjung reda. Tubuhku menggigil kedinginan, terpaan air hujan membasahi baju yang kupakai. Atap pelataran toko, tempat kuberteduh tak mampu memberikan perlindungan yang cukup. Aku mulai lelah. Dimanakah aku bisa berlindung? Kemanakah aku harus berjalan? Aku hanya bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa tujuan. Tak sepeser uang-pun kugenggam, hanya buntalan kain berisi baju-baju sederhana yang kubawa. Perutku semakin membuncit, bayi yang kukandung semakin menua. Apa yang harus kulakukan, ketika bayi itu lahir. Apa yang harus kukatakan, ketika bayi yang kulahirkan menanyakan ayahnya. Ah...
*****
Tiga belas bulan yang lalu, kau datang dengan kesahajaan dan memperkenalkan diri dengan nama Muhammad Isa pada keluargaku di tanah Minahasa. Kau mampu menarik hati papahku, membuat papah memberikan segalanya kepadamu, termasuk aku. Pendekatan yang hebat untuk seorang pendatang yang mampu meluluhkan hati seorang kepala suku yang begitu keras. Hingga akhirnya, kau membawaku ke Jakarta, tempat asalmu. Saat itu, aku tengah hamil dua bulan dari hasil pernikahan denganmu. Aku merasa bahagia tiap kali kau menjanjikan banyak hal padaku.

Rabu, 21 Mei 2014

Antara Korupsi, Penegak Hukum dan Krisis Kepemimpinan di Indonesia



Oleh : Tri Wijayanti Kusuma Dewi

            Dalam surat Al-Baqorah ayat 30 Allah SWT berfirman telah menciptakan khalifahnya di muka bumi, artinya setiap manusia adalah khalifah terutama bagi dirinya sendiri. Tentunya khalifah itu baru sebatas potensi dalam diri setiap individu yang perlu diolah lagi sehingga tercipta khalifah yang rahmatanlilalamin. Namun persoalan yang kerap di jumpai di Indonesia ialah korupsi di segala lapisan birokrasi Indonesia yang menyebabkan kriris kepemimpinan, dan mental penegak hukum yang tak pantas disebut penegak hukum. Dalam seminar nasional 11 Januari 2014 mengenai Praktik Korupsi dibalik Wajah Demokrasi Indonesia Bapak Mahfud MD mengatakan bahwa moral setiap manusia yang mempengaruhi setiap tindakan itu, apabila moralnya baik atau muatan spriritualnya baik seseorang itu akan bertindak baik pula. lain dengan pembicara lain yang mengatakan bahwa bukan moral penyebabnya, namun memang ketika sesorang terjun dalam politik lingkungan tersebut pasti akan mempengaruhinya cepat atau lambat.

Sabtu, 17 Mei 2014

Bukankah Bumiku juga Milikmu?

Oleh: Paisal Salman Alparidji
Bumiku (Ilustrasi)

Semakin hari semakin renta saja bumi tempat kita berpijak ini. Kita sebagai manusia satu-satunya makhluk di bumi yang mempunyai akal sempurna bertanggung jawab penuh atas apa yang terjadi di bumi. Selain bertambah tua bumi juga semakin penuh, manusia secara terus menerus bereproduksi. Akibatnya adalah berkurangnya lahan hijau, dimana-mana dibangun rumah atau bangunan. Hutan yang memiliki peran sebagai paru-paru bumi juga berkurang fungsinya, bumi semakin panas.

Kita tidak bisa berpangku tangan atas apa yang terjadi, kita harus mulai merawat bumi dari hal yang kecil. Misalnya menghemat energi dengan mematikan listrik saat tidak digunakan, menghemat kertas, dan tidak menggunakan plastik untuk barang yang masih bisa dibawa sendiri.

Tahukah kalian berapa pohon yang digunakan untuk membuat kertas? Kebanyakan kertas dibuat dari pohon pinus, satu pohon bisa menghasilkan 80.500 lembar kertas. Untuk membuat satu ton kertas dibutuhkan 13 batang pohon besar, 400 liter minyak, 4.100 Kwh listrik dan 31.780 liter air (Forum Hijau Indonesia). Terlalu banyak energi yang dibuang jika kita terus-terusan boros kertas.